Saat Fitrah Menjadi Ujian (Part II)

 

Sumber : Google Pic

Cinta.

Apa itu cinta? Kini, di usiaku yang semakin dewasa, aku tak percaya ada yang namanya cinta. Cinta itu semu, palsu, yang jelas itu bukan untukku. Aku bertahan hidup dengan logika, bukan rasa. Aku tidak perlu merindukan siapa-siapa, tidak perlu risau menanti kabar siapa-siapa.

Jika aku mencinta, kebahagiaanku akan berada di tangan orang lain, yang bukan tidak mungkin, suatu saat akan mengecewakanku. Aku ingin aku menjadi pemegang kendali atas kebahagiaanku sendiri.

Dengan persepsi semacam ini, cinta bukan lagi fitrah yang terasa bagai ujian. Aku tidak ingin ada cinta. Berbagai kesempatan mendapatkan cinta kulewati begitu saja, penuh keacuhan. Aku bisa hidup sendiri, ujianku biarlah aku seorang yang menghadapinya.

Namun, semua orang mengharapkanku untuk menikah. Untuk apa sih menikah? Aku berkali-kali bertanya pada orang-orang, apa manfaat menikah? Jawabannya tidak ada yang memuaskanku. Sebagai obat kesepian, biar ada yang nemenin. Hm, aku bukan orang yang kesepian. Lantas, apakah aku tidak butuh menikah?

Deg.. Deg..

Kisah berlanjut, aku dipertemukan dengan seseorang yang lama tak kutahu kabarnya. Dia anak yang baik, santun, dan di suatu titik di masa lalu, aku pernah menaruh hati padanya, diary-ku yang menjadi saksi.

Dan kini, dia datang lagi, dengan segenap keseriusan. Dia tak bercanda, pun tak mengajakku senang-senang. Maksud kedatangannya hanya satu: mengajakku menikah, dan dia butuh tahu apakah aku mau atau tidak.

Kesempatan untuk menikah itu datang. Apakah aku harus percaya?

Bak pegawai kantoran, kami rutin mengatur jadwal pertemuan dan bertukar informasi. Kering, formal, dan serius. Begitulah profesionalisme yang dicampur-adukkan dengan sesuatu yang harusnya diresapi dengan cinta. Penuh perhitungan. Dia adalah calon rekan hidupku, dan aku adalah calon rekan hidupnya. Maka kami harus tahu, apakah kami sevisi dan semisi?

Lagi, cinta tidak hadir di sana, komunikasi kami pun terbatas, jarang, dan bukan hal yang menggairahkan.

Namun, semakin mengenalnya, aku semakin yakin jika aku bisa menjalani hidupku bersamanya. Akhirnya, kami semakin dekat dengan pertanyaan akhir, ‘apakah kami mau menikah atau tidak’.

Waktu demi waktu berlalu, bimbang, bingung. Haruskah aku menikah? Butuhkah aku dengan fitrah cinta yang diikat dengan kesucian?

Entah apa yang terjadi pada hatiku. Keadaan yang semula kering, lambat-laun menjadi lembut. Di saat kami sudah mengatur tanggal pernikahan, aku semakin dan semakin merindukannya setiap hari.

Dan tepat di hari pernikahanku, 20 Agustus 2023, yang dulunya kusangka itu akan jadi hari yang biasa-biasa saja bagiku, ternyata menjadi hari pertamaku menjalani hidup bersama orang yang sangat mengerti dan mau memahami keadaanku.

Sejak dua bulan yang lalu hingga hari ini, kami saling belajar untuk mengenal satu sama lain. Hari-hariku tak pernah berlalu tanpa rasa syukur karena telah ditakdirkan bertemu dengannya. Seseorang yang lembut hati, pengertian, mau mendukungku, dan bisa melindungiku. Di depannya, aku tak berkeberatan menjadi orang bodoh yang ceroboh, yang sembrono, dan bukan lagi seorang yang teliti, penuh perhitungan, serius, dan membosankan seperti yang dikenal oleh rekan-rekan kerjaku.

Cinta dan pernikahan tidak akan pernah mengekang, jika kita bertemu dengan orang yang tepat.

Jika nanti orang bertanya, apa itu cinta? Aku masih tetap bingung menjawabnya, karena dia hadir begitu saja tanpa aku tahu cara mendeskripsikannya.

Hari ini, 20 Oktober 2023, aku baru sanggup menuliskan kisah ini, yang merupakan part II dari post Saat Fitrah Menjadi Ujian tertanggal 8 Januari 2017, terkhusus untuk dia yang telah mengisi hatiku.

Dulu, aku pernah bilang padanya, aku tak bisa menulis jika aku sedang bahagia. Seperti kata Orhan Pamuk, "Penyair adalah dia yang paling sedih hidupnya." Tulisanku pun hanya lahir jikalau aku sedih. Dan, ya, sekarang aku sedang sedih. Atau lebih tepatnya--

Rindu.

Comments

  1. Mungkin kemarin engkau tak lama menunggu di pelabuhan, sehingga engkau hanya mendapatkan cinta itu dari alam, sejuknya angin, merdunya desir ombak, kicau burung, dan indahnya langit berwarna orange serta magic hour yang tenggelam di ujung langit. DAN WAKTUNYA TIBA....
    Saat engkau berdiri lama di pelabuhan karena terlalu terbawa dengan cinta yang diberikan oleh alam. Datang lah sebuah kapal yang sederhana tak sama sekali mewah, dan engkau menghampiri dan masuk kapal tersebut, dan yahhhhh.. sangat Nyaman, hangat, dan tenang, sampai-sampai engkau terdiam, seakan tidak dapat mendifinisikannya.

    Mungkin ini yang engkau telah alami sekarang, variabel variabel cinta mu bertambah, dan menurutku cinta seperti halnya simbol 'takhingga'. Ia Tak terbatas.

    Dan cinta tertinggi adalah ketika kita mencintai Allah subhanahu wata'ala, sangat pencipta.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengatasi Kembung pada Kelinci

Menggambar Teknik (Part I)