PARTIKEL VI Story
Aku terus berjalan terengah-engah di tengah malam buta. Pepohonan di kiri-kanan yang seharusnya kelihatan menyeramkan, sekarang seolah menjadi penenang. Semakin mendekat ke arah cahaya itu, suara keributan semakin terdengar. Suara teriakan, amarah, dan tawa seolah berpadu menjadi iring-iring kejahatan. Aku berhenti dan menoleh ke arah kedua temanku, mengerti mereka juga merasakan hal yang sama. Keheningan di antara kami terasa begitu kaku dan mencekam, hingga kudengar suara salah satu dari mereka, "Ayo."
*****
Suatu sore di antara berjuta sore lainnya, terdapat suatu hari yang menjadi titik perubahan dalam hidupku. Langkah awalku untuk mulai berlari, bukan berjalan bahkan merayap seperti biasanya. Aku duduk di sana, di tempat aku lebih bisa mengenali siapa teman-teman baruku sembari membuat persiapan pengkaderan. Cerita-cerita serupa perkenalan diri dan asal-usul kerap terdengar. Aku mendengarkan dengan sekali-sekali memberi komentar. Dan kemudian bekerja lagi.
- Di tengah-tengah pembicaraan, seorang temanku membicarakan tentang seorang kakak tingkat yang luar biasa, mempunyai jabatan tinggi di salah satu organisasi universitas. Aku kagum dan amat memperhatikan kisahnya. Namun, aku belum pernah melihat orang itu. Aku hanya tahu, dia pasti memang orang yang luar biasa.
Kau tahu, bagaimana rasanya menemukan orang yang luar biasa? Dari dulu aku belum pernah menjumpai orang macam itu. Aku kadang hanya suka, kagum, dan yah, hal itu berlalu. Namun kali ini aku menemukan seseorang yang ingin kuikuti jalan hidupnya, pandangannya, dan sikapnya. Sesuatu yang benar-benar baru kurasakan. Sesuatu yang bersumber dari kekaguman.
Mendapat kesempatan untuk mengenal orang hebat tidak boleh disia-siakan. Aku ingin meminta saran, pendapat, dan bimbingannya untuk menjadi mahasiswa yang sungguh-sungguh mahasiswa. Namun, apa daya menjadi seorang asing yang baru saja muncul di kehidupan baru ini. Aku pun hanya bisa berharap suatu saat akan mengenalnya.
Mendapat kesempatan untuk mengenal orang hebat tidak boleh disia-siakan. Aku ingin meminta saran, pendapat, dan bimbingannya untuk menjadi mahasiswa yang sungguh-sungguh mahasiswa. Namun, apa daya menjadi seorang asing yang baru saja muncul di kehidupan baru ini. Aku pun hanya bisa berharap suatu saat akan mengenalnya.
********
Perasaan tegang menyelimuti di setiap tawa kami. Aku tahu itu, karena aku pun merasakannya. Aku tahu, atau tepatnya, kami tahu, bahwa saat-saat tersenyum ini hanya sementara. Dan tak lebih dari sepersekian detik kemudian akan berubah penuh kecaman, erangan marah, dan suara-suara keji lainnya. Aku tidak tahu harus menurut atau membangkang. Yang kutahu, sekarang dia tepat berada di depanku. Sungguh aku tidak menyangka sama sekali, hal ini benar-benar akan terjadi.
Hei, benarkah itu dia? Dia tidak seperti yang kubayangkan. Kukira dia tinggi hati dan kering rasa humornya. Ternyata dia cukup menyenangkan. Sikapnya sangat berwibawa, tertata, dan seolah tidak pernah memilih kata yang tidak tepat. Apa ya pikiran pertamaku saat melihatnya?
Cukup sulit untuk mengungkapkannya. Apakah ini sungguhan? Bukan mimpi, kan?
Semua gelap. Aku bahkan tidak dapat melihat apa-apa. Napasku sesak. Namun aku terus digiring ke tempat yang tidak aku kenal, tidak dapat kubayangkan. Kakiku meniti jalan dengan kecepatan yang terus meningkat. Satu-satunya hal yang menenangkanku adalah genggaman erat di kedua tanganku.
Berbelok. Lurus. Menurun. Jalan berbatu. Tersandung. Hal-hal itu yang kurasakan lama sekali. Tak lama seseorang berusaha melepas genggaman erat di salah satu tanganku. Aku yang semula hanya penasaran, kini merasa takut.
Napasku semakin sesak. Tudung di wajahku makin menutupi hidungku. Akhirnya aku nekat, aku melepaskan genggaman di tangan kiriku untuk menarik tudung yang menutupi hidungku. Konyolnya, aku tidak dapat menemukan tangan temanku yang baru saja kulepaskan. Aku benar-benar kehilangannya. Dan anehnya, ada hawa baru lain yang menggenggam tanganku, entah siapa dia.
Tak lama, genggaman di tanganku yang kanan (yang masih menggenggam temanku yang lain), berusaha untuk dilepaskan juga. Lama kami berdua mempertahankan genggaman, namun akhirnya berhasil dilepaskan.
Sekarang aku sendirian, tidak ada yang menuntun arah seperti tadi. Bahkan tangan asing tadi juga telah melepas genggamannya.
Senyap-senyap aku mendengar suara. Memanggilku. Menuntun arahku. Aku mengikutinya. Tapi terlalu cepat, dan aku hampir saja kehilangan arah jika tidak ada tangan lain yang menuntun arahku. Makin jauh aku dituntun, makin jelas suara nyanyiannya.
Nyanyian itu..
Aku mendengar suara yang kukenal, tepat di sebelah kiri dan kananku. Tanganku masih terus digenggam oleh orang yang tidak kuketahui, karena aku pun tidak dapat melihat apa-apa.
Kakiku masih berjalan mengikuti orang yang meuntunku. Lewat di antara orang-orang yang sedang berdiri, menabrak bahu-bahu mereka.
Aku tidak tahu di mana aku sebenarnya. Yang kutahu, aku hanya merasa seperti di tempat yang terdiri dari tribun yang membentuk lingkaran (seperti tribun stadion yang berukuran kecil) yang disinari dengan lembut oleh matahari. Dengan suara air mancur kecil tepat di tengah, dan dikelilingi orang-orang yang terus menyuarakan nyanyian.
Tak terasa aku pun ikut bernyanyi. Semula hanya dalam hati, namun lama kelamaan bibirku bergerak, hingga aku menyanyi sepenuhnya. Seperti.. sihir.
Aku terus diarahkan entah ke mana, berkeliling melewati orang-orang. Seseorang menggenggam tangan kananku, disusul dengan seorang lagi yang menggenggam tangan kiriku. Entah kenapa suara mereka berganti-ganti. Kadang berat seperti pria dewasa, kadang melengking seperti gadis remaja.
Tidak lama aku pun berhenti digiring. Suara di sekitarku masih terus menggumamkan nyanyian, dan herannya, aku juga. Aku masih bernyanyi hingga orang itu melepaskan genggaman. Dia melepaskan sebagian kain merah marun yang menghalangi pandanganku sejak tadi, yang langsung kubantu dengan menyentakkan sekali.
Aku tidak menyangka. Yang ada di depanku bukanlah air mancur, ataupun tribun. Melainkan api unggun yang dikelilingi orang-orang yang saling berpegangan tangan membentuk lingkaran besar. Saking lamanya menutup mata, aku lupa kalau sekarang benar-benar sudah tengah malam buta.
Bersambung...
Mungkin agak berlebihan dari kejadian aslinya, tapi tetap sesuai realita kok, hehe ^_^
********
Semua gelap. Aku bahkan tidak dapat melihat apa-apa. Napasku sesak. Namun aku terus digiring ke tempat yang tidak aku kenal, tidak dapat kubayangkan. Kakiku meniti jalan dengan kecepatan yang terus meningkat. Satu-satunya hal yang menenangkanku adalah genggaman erat di kedua tanganku.
Berbelok. Lurus. Menurun. Jalan berbatu. Tersandung. Hal-hal itu yang kurasakan lama sekali. Tak lama seseorang berusaha melepas genggaman erat di salah satu tanganku. Aku yang semula hanya penasaran, kini merasa takut.
Napasku semakin sesak. Tudung di wajahku makin menutupi hidungku. Akhirnya aku nekat, aku melepaskan genggaman di tangan kiriku untuk menarik tudung yang menutupi hidungku. Konyolnya, aku tidak dapat menemukan tangan temanku yang baru saja kulepaskan. Aku benar-benar kehilangannya. Dan anehnya, ada hawa baru lain yang menggenggam tanganku, entah siapa dia.
Tak lama, genggaman di tanganku yang kanan (yang masih menggenggam temanku yang lain), berusaha untuk dilepaskan juga. Lama kami berdua mempertahankan genggaman, namun akhirnya berhasil dilepaskan.
Sekarang aku sendirian, tidak ada yang menuntun arah seperti tadi. Bahkan tangan asing tadi juga telah melepas genggamannya.
Senyap-senyap aku mendengar suara. Memanggilku. Menuntun arahku. Aku mengikutinya. Tapi terlalu cepat, dan aku hampir saja kehilangan arah jika tidak ada tangan lain yang menuntun arahku. Makin jauh aku dituntun, makin jelas suara nyanyiannya.
Nyanyian itu..
Aku mendengar suara yang kukenal, tepat di sebelah kiri dan kananku. Tanganku masih terus digenggam oleh orang yang tidak kuketahui, karena aku pun tidak dapat melihat apa-apa.
Kakiku masih berjalan mengikuti orang yang meuntunku. Lewat di antara orang-orang yang sedang berdiri, menabrak bahu-bahu mereka.
Aku tidak tahu di mana aku sebenarnya. Yang kutahu, aku hanya merasa seperti di tempat yang terdiri dari tribun yang membentuk lingkaran (seperti tribun stadion yang berukuran kecil) yang disinari dengan lembut oleh matahari. Dengan suara air mancur kecil tepat di tengah, dan dikelilingi orang-orang yang terus menyuarakan nyanyian.
Tak terasa aku pun ikut bernyanyi. Semula hanya dalam hati, namun lama kelamaan bibirku bergerak, hingga aku menyanyi sepenuhnya. Seperti.. sihir.
Aku terus diarahkan entah ke mana, berkeliling melewati orang-orang. Seseorang menggenggam tangan kananku, disusul dengan seorang lagi yang menggenggam tangan kiriku. Entah kenapa suara mereka berganti-ganti. Kadang berat seperti pria dewasa, kadang melengking seperti gadis remaja.
Tidak lama aku pun berhenti digiring. Suara di sekitarku masih terus menggumamkan nyanyian, dan herannya, aku juga. Aku masih bernyanyi hingga orang itu melepaskan genggaman. Dia melepaskan sebagian kain merah marun yang menghalangi pandanganku sejak tadi, yang langsung kubantu dengan menyentakkan sekali.
Aku tidak menyangka. Yang ada di depanku bukanlah air mancur, ataupun tribun. Melainkan api unggun yang dikelilingi orang-orang yang saling berpegangan tangan membentuk lingkaran besar. Saking lamanya menutup mata, aku lupa kalau sekarang benar-benar sudah tengah malam buta.
Bersambung...
Mungkin agak berlebihan dari kejadian aslinya, tapi tetap sesuai realita kok, hehe ^_^
Konyol wkwkw
ReplyDeleteSudah tau mata ditutup trus jalan malah ngelepas tangan org wkwkwk
tidabisa bernapas qaqa :')
Delete