Snow - Lepas Jilbabmu atau Mati?


Snow adalah karya Orhan Pamuk pertama yang aku baca meski bukunya yang paling terkenal adalah My Name Is Red. Dengan title peraih nobel sastra, aku sangat bahagia saat menemukan karya Orhan di antara buku prelove di Toko Sarang Buku Bekas Rasuna, Jakarta.

Aku makin bersemangat saat membaca blurb-nya yang spill sedikit tentang isinya yang berupa isu politik di Turki pada tahun 90-an yang berkaitan kental dengan Rezim Ataturk, ditambah lagi dikemas dalam nuansa thriller. Segera saja aku membayangkan nuansa yang mirip dengan novel Laut Bercerita karya Leila Chudori. Btw sudah 2 kali aku spill tentang Laut Bercerita (sebelumnya di postingan Pulang-Leila Chudori), sepertinya nanti aku harus buat post sendiri, hehe.

Kesan yang kudapat saat membaca bab-bab awal adalah plot yang terlalu lambat dan terkesan loncat sana-sini. Entah memang seperti itu cara yang dipilih oleh Orhan, atau versi terjemahnya yang kurang tepat saat mendeskripsikan. Intinya aku setengah kecewa karena sudah berekspektasi akan menjumpai novel thriller menegangkan yang mengemas isu politik.

Kisah berawal dari seorang Penyair bernama Ka yang merupakan orang buangan politik dari sayap kiri yang mengunjungi Kars, tempat tinggalnya terdahulunya di Turki. Ka sekarang telah menetap di Frankfurt, Jerman dan akan melakukan riset mengenai maraknya isu wanita bunuh diri di Kars.

Wanita-wanita tersebut diduga bunuh diri karena depresi lantaran pelarangan mengenakan jilbab jika ingin sekolah atau kuliah. Setiap kubu saling memanfaatkan isu tersebut demi keuntungan politik. Kubu republiken yang sekuler menuduh kubu Islam Politis memanfaatkan orang-orang Islam demi memenangkan pemilihan.

Isunya sangat menarik. Terlebih lagi ternyata akulturasi budaya dari Kesultanan Islam menjadi negara sekuler tidak semulus itu jalannya. Sekularis Turki yang disebut penghamba budaya Eropa cenderung ekstrem dalam membatasi umat Islam mengenakan atribut Islam, meskipun mereka sendiri juga Muslim. Belum lagi ditambah isu pembantaian Bangsa Armenia sebelum lengsernya Kesultanan Utsmaniyah.

Dugaan kudeta yang akan dipicu oleh Islamis Politik dan Bangsa Kurdi (suatu bangsa yang berasal dari Iran dan mayoritas Muslim) membuat militer segera bertindak dan meneror terduga provokator dan orang-orang yang disinyalir anti-Ataturk (di sini nuansanya sangattt mirip dengan kondisi di Indonesia saat penumpasan PKI). Para murid-murid madrasah dan kader politik Islam di Kars ditangkapi, ditembaki, diintrogasi, bahkan dibunuh dengan kejam oleh militer.

Dalam buku ini, dibanding kisah romansa antara Ka dan Ipek, maupun skandal Ipek-Lazuardi (terduga teroris di Turki yang sedang berada di Kars), aku lebih tertarik dengan permasalahan politik yang berkaitan dengan Kadife, adik Ipek yang merupakan wanita berjilbab yang tidak bisa kuliah karena tidak mau melepas jilbabnya. Kadife adalah pemimpin gerakan perempuan berjilbab yang melakukan demonstrasi pada pemerintahan Turki (tentu saja mereka didukung oleh kubu Islam namun sekaligus dimanfaatkan oleh kader politik yang ingin menjabat). Kadife juga merupakan teman dari wanita-wanita yang melakukan bunuh diri di Kars, bahkan dia dituduh sebagai provokator agar para wanita ini mengakhiri hidup.

Terlepas dari plot novel ini yang terasa bertele-tele, aku suka dengan isu yang diambil dan penokohan karakternya yang detail dan menunjukkan perkembangan sampai pada epilognya.

Jika ada kesempatan, semoga bisa punya karya Orhan Pamuk yang best seller yaitu My Name Is Red. Semogaa salah satu karyanya yang terkenal itu beneran bisa memikat hatiku, hehehe. Sekian dulu post kali ini, see ya.

Comments

Popular posts from this blog

Mengatasi Kembung pada Kelinci

Menggambar Teknik (Part I)