Islam Sontoloyo = Islam Nusantara?


Nah, kali ini saya akan sharing sedikit tentang buku yang berisi surat-surat Sang Bapak Proklamator kita yaitu Ir. Soekarno ketika sedang mempelajari dan memahami nilai-nilai Islam. Ir. Soekarno memang secerdas itu di masa orang-orang lain hanya terus terbawa arus. Beliau merupakan orang yang 100% merdekanya. Bukan hanya raganya, lisannya, namun benar-benar bagian terkecil dirinya pun bisa dibilang merdeka. Speechless dijamin.


 Tata bahasa buku ini agak aneh, rasa-rasanya seperti sedang membaca terjemahan yang gagal. Mungkin bahasa orang-orang lampau memang begitu, atau tim editornya yang tidak menerjemahkan dengan baik, entahlah. Namun lambat laun pasti akan terbiasa dengan tata bahasa yang seperti itu.

Di dalam suratnya, Ir. Soekarno kerap kali mengkritik pola pikir orang-orang Islam di zaman itu. Meskipun memang banyak melibatkan politik Islam, beliau juga sempat menyinggung perkara fiqh yang menurutnya tidak perlu persis sama dengan zaman awal-awal Islam. 'Karena untuk apa kita kembali ke cara hidup masa itu?  Untuk apa kita menjalani kemunduran selama 1400 tahun? Jangan jadi Islam Sontoloyo' begitu kira-kira katanya.

Untuk para pembaca, jangan keburu men-judge pola pikir beliau. Jangan keburu merasa beliau akan menggalakkan perkara baru atau yang biasa disebut bid'ah. Beliau menyerukan pembaruan pola pikir, bukan dengan mengakali dalil demi kepentingan pribadi. Maksud beliau bukan seperti itu. Atau begitulah saya memahaminya.

Mungkin pembaca agak sulit mengerti, jadi saya akan kutip bagian seputar 'pembaruan Islam' versi Ir. Soekarno.

Jadi yang beliau maksud bukan 'hakikat'-nya, melainkan hanya 'cara'-nya saja yang diperbaharui. Namun beliau dengan tegas dan keras melawan pembaruan cara yang bertujuan mengakali 'hakikat' alias ngakali dalil, seperti kutipan di bawah ini.

Beda kan pembaruan yang beliau maksud? Meskipun ceritanya seolah halal, menjual barang yang secara pura-pura dibeli, lalu dijual lagi pada pemilik awalnya dengan harga lebih. Barang tersebut seolah hanya simbol, aslinya sih pelaku cuma mau pinjam uang, tapi yang minjamkan mau 'selisih' dengan adanya barang sebagai kamuflase.

Selain mengenai hakikat ini,  terdapat juga paham sekulerisme yang sepertinya disetujui oleh Ir. Soekarno dalam surat-suratnya. Saya pun merasa beliau adalah orang yang cenderung sekuler. Namun saya tidak memetik dari sisi itu, melainkan dari betapa luasnya beliau memandang sesuatu. Ibarat helikopter yang bisa memandang dari kejauhan secara keseluruhan, sehingga tindakan yang dilakukan itu menyeluruh, bukan hanya untuk satu kalangan, melainkan untuk semuanya.

Lantas bagaimana dengan kesamaan persepsi antara Islam Sontoloyo dan Islam Nusantara? Benarkah keduanya sama-sama menyukai pembaruan dan penyesuaian?

Jujur, menurut saya, berdasarkan surat-surat di buku ini, Islam Sontoloyo kelasnya sangat jauh dibanding Islam Nusantara. Islam Sontoloyo meliputi penggunaan akal sehat, kecerdasan berpikir, dan menyuarakan solusi dari sesuatu dengan cara yang modern. Berbeda dengan Islam Nusantara yang menurut saya hanya sebatas akulturasi budaya, tidak terlalu memiliki esensi dibanding Islam Sontoloyo.

Islam Sontoloyo menekankan untuk mengubah cara hidup meskipun akarnya sama, yaitu Al Qur'an dan sabda Rasulullah ﷺ. Sesuatu tidak harus dilakukan sama persis seperti 1400 tahun yang lalu, melainkan tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Memang hal seperti ini agak berbahaya jika ditafsirkan oleh sembarang orang, takutnya dia merasa segala hal bisa diperbaharui, padahal yang dimaksud hanyalah pola pikir dan cara hidup saja.

 At least, saya memberi rating buku ini 4.5/5 karena memang sekeren itu, hehe. Bacanya juga kadang perlu buka kamus Belanda-Indonesia biar bisa ngerti.

Sekian dulu post kali ini, see ya!

 


Comments

Popular posts from this blog

Mengatasi Kembung pada Kelinci

Menggambar Teknik (Part I)