Pulang - Leila Chudori

Gambar 1. Novel Pulang


Nah, kali ini aku akan sharing sedikit tentang novel karya Leila Chudori berjudul Pulang, yang rupanya ada sedikiiit kaitannya dengan buku beliau juga yang berjudul Laut Bercerita.

Sebenarnya nyaris speechless ketika baca buku ini. Menurutku rating untuk buku ini sedikit di bawah Laut Bercerita, namun tetap saja ini karya yang sangat luar biasa.


Berbeda dengan Laut Bercerita yang hanya menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Laut, di novel Pulang menggunakan sudut pandang orang pertama dari berbagai tokoh berbeda yaitu Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Desperaux, dan Segara Alam.

 Buku ini sejak awal sudah fokus ke setting tempat dan waktu di Paris Mei 1968, Indonesia 30 September 1965, dan Indonesia Mei 1998. Dari latar tersebut sebenarnya sudah kelihatan ya tragedi apa yang banyak dikisahkan, yaitu di sekitar Pemberontakan G30S PKI dan Masa Orde Baru. Tragedi yang terkubur dan ditutupi dengan kisah yang dalam buku ini disebut 'malpraktek sejarah'.

Aku sangat suka pada gaya bercerita dan diksi yang dipilih oleh Mba Leila. Meski ceritanya terkesan penuh dengan sejarah, namun Mba Leila kerap kali menyelipkan humor yang beneran deh lucu :D (atau aku yang receh? ntahlah).

Buku ini menceritakan tentang korban-korban selama masa pasca G30S PKI. Di mana mereka benar-benar tereliminasi hak-haknya sebagai warga negara, maupun sebagai manusia. 'Mereka' yang dimaksud di sini adalah para sanak saudara, kerabat (jauh ataupun dekat), sahabat, keluarga sahabat, cucu, cicit, sepupu, sepupu dari sepupu, sepupu dari sepupunya lagi, ah intinya yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, nyaris semua hidup dengan penuh teror, interogasi, bahkan sampai tahap penyiksaan dan eksekusi. Seram sekali melihat sejarah penuh darah yang bahkan media tak berani meliput. Pada waktu itu, istilah menjauhkan diri dari eks tapol (tahanan politik) maupun kerabatnya disebut Bersih Diri dan Bersih Lingkungan.

Para terduga kerabat dan rekan yang cenderung memihak komunis (kadang hanya sering berdiskusi maupun hanya sebatas rekan kerja), yang bahkan tidak memihak siapa pun langsung dicap penyebar ideologi komunis. Pada buku ini, tertuduh tersebut ada yang kebetulan sedang ikut konferensi internasional sehingga selamat dari kejaran dan teror, namun terpaksa menetap di negeri orang lain (dalam hal ini di Perancis) dan tidak bisa pulang (ditolak pulang oleh Pemerintah). Di sinilah kisah mereka mulai. Terombang-ambing di negeri orang, bahkan dibenci oleh kedutaan. Jauh dari sanak saudara, dan tidak punya mata pencaharian.

Aku tidak akan bahas alur buku ini secara mendetail, karena akan lebih seru jika dinikmati sendiri. Btw aku sangat suka dengan karakter Dimas Suryo (ayahnya Lintang Utara, suami Vivienne). Dimas merupakan ayah cerdas yang protektif banget sama Lintang wkwk. Dimas sering menceritakan kisah-kisah filsafat maupun perwayangan kepada Lintang (mirip sama Bapakku yang suka cerita, bedanya isi cerita Bapak berkisar di sejarah Indonesia atau sejarah Islam). Dimas memiliki karakter keras kepala, realistis, dan sangat anti dengan kaum borjuis. Dia bahkan sempat sentimen pada Narayana (pacarnya Lintang), karena Nara adalah anak orang kaya yang tidak tahu kerasnya kehidupan (meski Nara bukanlah orang kaya yang bodoh, tetap saja Dimas tak respek).

Gambar 2. Reaksi Dimas terhadap Nara :D


Ada 1 hal besar yang menurutku mengurangi rating buku ini. Skema utama untuk latar tempat dan waktu juga menuliskan demonstrasi di Paris, Mei 1968. Namun di buku ini sangat sedikit penjabaran tentang apa yang terjadi saat itu. Hanya fokus pada tokohnya yaitu Dimas dan Vivienne yang bertemu dan menjalin kasih. Menurutku jika memang hanya romansa inti dari latar tersebut, tidak perlu disebutkan demonstrasi ataupun kegiatan Vivienne yang juga seorang aktivis seperti Dimas, karena toh kita tak bisa tahu aktivis apa kah Vivienne? Apa yang sedang mereka perjuangkan? Idk.

Terlepas dari segala hal, buku ini sangaat keren. Ada banyak kutipan puisi di sini tapi yang paling ku suka itu karya John Keats yang sekaligus menjadi epilognya, ketika Dimas memahami bahwa 'pulang' yang dia impikan masih tetap ke Indonesia, se-lama apa pun dia tinggal di Perancis.

Gambar 3. Kutipan puisi John Keats


Mungkinkah mati itu tidur bila hidup itu mimpi...

Oh iya, kisah ini based on true story karena didasari dengan wawancara langsung pada kerabat eks tapol yang salah tiganya yaitu Umar Said, Sobron Aidit, dan J.J. Kusni. Meski pasti banyak dicampuri hal fiksi juga ya biar makin gregett ehe. Sekian dulu post kali ini. See you!

Comments

Popular posts from this blog

Mengatasi Kembung pada Kelinci

Menggambar Teknik (Part I)