Kritik terhadap Sensor Serial Televisi Swasta di Indonesia
Sebagai pemirsa televisi Indonesia, tentunya kita tahu sebagian atau semua acara, film, berita, serta serial tv dan drama yang tayang setiap harinya. Meskipun saya tergolong orang yang jarang nonton tv, saya mengetahui beberapa hal yang ditonton oleh ratusan juta masyarakat setiap harinya.
Menjadi penonton yang tergolong remaja, di mana merupakan fase pencarian jati diri, membuat saya memilah-milah dalam menonton televisi. Pada saat kosong kadang saya isi dengan menonton televisi, dan apa yang kebetulan saya lihat? Saya menyaksikan serial baru yang berasal dari Turki yang tidak pantas saya sebutkan judulnya dan televisi yang menayangkannya di sini, menyajikan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya Timur yang selama ini dianut negara kita. Salah satu episode nya menampakkan pesta yang dihadiri oleh wanita-wanita dengan pakaian tidak senonoh, menampakkan belahan dada dan rok yang jauh di atas lutut. Lebih parahnya lagi, tidak ada sensor sama sekali di bagian tersebut. Hei, apa benar serial tersebut telah lulus sensor?
Saya sangat kesal sewaktu menonton adegan tersebut, bisa-bisanya tidak ada kecaman terhadap serial bobrok itu. Apa lembaga sensor tidak benar-benar menjalankan tugasnya? Atau mereka mengira hal itu lumrah dan pantas saja disaksikan oleh masyarakat? Menyedihkan, karena bisa saja ada anak-anak di bawah umur yang turut menyaksikannya.
Mungkin dikarenakan rating serial lain dari negara Turki sedang tinggi-tingginya, maka televisi swasta berlomba-lomba menayangkannya. Namun mengapa serial yang diambil justru yang kentara budaya Barat-nya?
Bukannya membenci budaya Barat, hanya saja negara kita yang mayoritas Muslim benar-benar tidak cocok jika disajikan serial semacam itu. Serial yang aktrisnya mengenakan pakaian minim, gonta-ganti pasangan, dan mencoba memasukkan unsur agama namun ujung-ujungnya malah melenceng. Miris memang.
Bukan hanya serial dari luar, serial dari Indonesia ini pun seringkali menampilkan hal-hal yang tidak pantas disaksikan pemirsa di bawah umur. Salah satu contohnya adalah sinetron yang bercerita setengah manusia setengah hewan di televisi swasta. Hampir keseluruhan isi cerita adalah percintaan, sengaja diperankan oleh aktor dan aktris berwajah tampan dan cantik agar menarik pemirsa. Tapi sayangnya jam tayangnya terlalu sore sehingga jelas dapat disaksikan anak-anak.
Sinetron itu bercerita tentang anak sekolah, tapi dominan ke kasus percintaannya, pacaran menggunakan uang orangtua, peluk-peluk sembarangan, tidak terpikir akan masa depan serta hal-hal positif seperti meraih cita-cita dan upaya membanggakan orang tua. Apakah itu yang mereka inginkan, merusak moral generasi penerus bangsa kita?
Coba kita tengok kartun luar negeri yang nyaris dilarang oleh komisi penyiaran. Kartun Spongebob Squarepants yang mendapat sensor habis-habisan, sampai ucapan ‘bodoh’ pun ikut disensor. Bahkan pakaian bikini yang dikenakan seekor tupai tidak luput dari sensor. Ayah kepiting yang mencium putri pausnya dihilangkan. Serta anehnya lagi, lagu-lagu berbahasa Inggris pun entah kenapa ikut dihilangkan -_-
Jauh sekali ya perbedaan hal-hal yang patut disensor. Yang satunya sensor sedetil-detilnya, namun yang lain hanya adegan yang benar-benar gawat (ex: ciuman, merokok, dan penggunaan senjata) yang disensor, selain itu umpatan seperti kata ‘bodoh’, ‘tolol’, ‘brengsek’, masih luput dari sensor. Apa karena mereka mengira anak-anak hanya menonton kartun saja? Apa anak di bawah umur tidak bakalan menonton serial dengan sensor pas-pasan di televisi? Apa sih tujuan mereka sebenarnya, kok sensor yang diterapkan sama sekali berbeda?
Selengkapnya tentang KPI baca di Tugas dan Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia
Selengkapnya tentang Lembaga Sensor baca di Pentingnya Lembaga Sensor Film
Mohon maaf apabila banyak kata yang menyinggung, karena saya hanya pengamat dari jauh yang mengisi pengetahuan sebatas pada artikel-artikel.
Kritik dan saran sangat dibutuhkan. Terima kasih telah membaca tulisan ini ^_^
Comments
Post a Comment